Disusun oleh :
Keluarga Pusara Warga Gresik Trah/Keturunan Kyai Tumenggung Pusponegoro-I
(P.W.G.T.P.)
Ditulis/disadur oleh Kyai Ngabei Mangoendirdjo, hoofdbstuur PWGTPP-di Gresik
Diunggah di website Blogger (dalam Bhs Indonesia), oleh
Haji R.Widodo AS,
Pancer ayah : Trah Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran (level 9)
Pancer ibu : Trah Kromodjayan Kanoman Surabaya - Mojokerto.(level 6)
Haji R.Widodo AS,
Pancer ayah : Trah Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran (level 9)
Pancer ibu : Trah Kromodjayan Kanoman Surabaya - Mojokerto.(level 6)
http://id.rodovid.org/wk/Orang:208660
PENDAHULUAN
Dalam tahun 1932 M, Trah/Keturunan Kyai Tumenggung Pusponegoro I, Bupati Gresik telah mengawali menulis riwayat/sejarah leluhurnya, dan hingga saat ini telah terbentuk Paguyuban Keluarga, yang diberi nama Pusara Warga Gresik Keturunan Kyai Tumenggung Pusponegoro I dalam wadah keluarga inilah sebagai wujud keteguhan hati dalam membentuk rasa cinta dan hormat kepada Leluhur, disertai mewujudkan kerukunan keturunan Kyai Tumenggung Poesponegoro, serta sebagai upaya menelusuri riwayat ataupun mengenang menauladani budi, dan kewibawaan leluhur.
Dalam pendahuluan ini kami berpendapat hari jadi Paguyuban PWGTP yang dimulyakan segenap keluarga, adalah sebagai lembaran mengenang keagungan beliau bagi anak cucu keturunannya, serta kerabat Trah Pusponegoro I.
Apabila ada keluarga PWGTP yang ditanya mengenai riwayat leluhurnya tidak bisa menjawab, karena memang tidak tahu karena tidak memperoleh informasi riwayat leluhur, akan menjadi sebab keragu-raguan pihak lain, bahwa dia adalah masih keluarga, atau Trah Pusponegoro I langsung. Ini juga akan merugikan kehormatan nama leluhur, karena ybs tidak dapat mencerminkan budi luhur, keharuman nama beliau. Oleh sebab itu saya secepatnya menulis kembali (memetik) dari surat pakem peninggalan alamarhum Kyai Tumenggung Mangundirdjo, Bupati di Gresik.
Dalam penulisan ini, saya sajikan yang penting-penting saja dengan harapan dapat memberi manfaat kepada seluruh Trah/Keturunan, sanak keluarga dan kerabat PWGTP, namun demikian apabila ada kesalahan uraian dan kalimat, dan tidak berkenan, semoga dapat dimaafkan.
Salam taklim, Kyai Ngabei Mangoendirdjo. http://id.rodovid.org/wk/Orang:186546
SERAT SEDJARAH
BAB I.
Awal sejarah dari pancer keturunan Sang Prabu Brawidjaya yang terakhir, sebagai raja yang memegang kekuasaan di Majapahit mempunyai putra Raden Arya Damar , dan dinobatkan sebagai Adipati di Palembang (Sumatera-Selatan). Beliau berputera Raden Kusen, setelah dewasa mengabdikan diri ke Majapahit dan diberi nama "Petjat Tanda", kemudian dinobatkan menjadi Adipati di wilayah "Terung", sehingga nama sering disebut "Pecat Tanda Terung" . Letaknya adalah daerah Krian-Sidoarjo, Jawa Timur. Adapun sisa-sisa sejarah dari bentuk bangunan yang tertinggal masih dapat dilihat. Raden Kusen wafat, digantikan oleh :
-
Raden Sengguruh, bertempat tinggal di Terung-Krian, Sidoarjo, berputra
- Kyai Goib, bertempat tinggal di Terung-Krian, Sidoarjo. berputra
- Kyai Tempel, yang bertempat tinggal didesa Setro, wilayah Gresik, berputra
- Kyai Ketib, bertempat tinggal di desa Temasik - Kebomas, wilayah Gresik, berputra
- Kyai Muruk, bertempat tinggal juga di desa Temasik, berputra
- Kyai Kemis, bertempat tinggal di desa Setro, wilayah Gresik, menikah dengan Nyai Mas Ayu, melahirkan dua putra, adalah
- 1. Bagus Lanang Puspodiwangsa, menikah denga Lara Teleng binti Kyai Tumenngung Naladika
- 2. Nyai Ayu, menikah dengan Bagus Prendjak (Sutadirana), bin Bagus Lasem - Trah Pragola-Pati.
Keadaan sewaktu Kyai Kemis menjabat, kekuasaan Gresik dibawah Pangeran Maswitana, berkedudukan di Giri. Beliau mempunyai seorang punggawa Mantri bernama Kyai Gulu, berasal dari desa Setro, karena kesetiaan pengabdian, mendapat anugerah / hadiah setengah bagian dari wilayah kekuasaan Gresik, bagian selatan. Hal tersebut diperjelas dalam acara syukuran dalam riwayatnya bahwa Kyai Gulu terhitung putra mantu dari Kyai Ageng Ngegot di Surabaya. Konon cerita karena memenangkan sayembara yang diadakan Pangeran Mas Pekik, dalam hal memeilhara / menyusui bayi Nini Sara puteri dari Mas Pekik (yang ditinggal wafat ibunya sewaktu melahirkan), dengan kejadian tersebut sebagai tanda terima kasihnya diberi wilayah pemerintahan Gresik bagian Selatan kepada Kyai Gulu. Selanjutnya dalam riwayat Nini Sara ini yang menurunkan Kanjeng Sunan Mangkurat, dan Pangeran Puger.
Selain itu Kyai Gulu mendapatkan anugerah berupa pusaka berupa sebilah keris bernama "Maesa Ganda Rasa", serta isteri dari garwa ampil Kanjeng Sunan Mangkurat Tegal Arum, wanita ini asal dari Gresik, sehubungan hal ini maka Kyai Gulu mempunyai hak memakai nama gelar Kyai Ageng, karena masih terkait dengan keluarga raja Mataram.
Isteri tersebut saat menikah dengan Kanjeng Sunan Mangkurat telah mempunyai dua puteri, adalah: 1. Nyai Angger, dan 2. Nyai Wuragil. Sedangkan dari pernikahan dengan Kyai Gulu, menurunkan dua putera, 1. Nyai Mas Ayu*, 2. Bagus Sateter. Saat wafatnya Kyai Ageng Gulu, beliau Kanjeng Sunan Mangkurat mengangkat Bagus Sateter menjabat sebagai Bupati Gresik. Dan sebagai pengiring kedudukan Bupati Giri dibagian selatan oleh Pangeran Maswitana diangkatlah Kertilaksana, yang berasal dari keturunan china.
Selain itu Kyai Gulu mendapatkan anugerah berupa pusaka berupa sebilah keris bernama "Maesa Ganda Rasa", serta isteri dari garwa ampil Kanjeng Sunan Mangkurat Tegal Arum, wanita ini asal dari Gresik, sehubungan hal ini maka Kyai Gulu mempunyai hak memakai nama gelar Kyai Ageng, karena masih terkait dengan keluarga raja Mataram.
Isteri tersebut saat menikah dengan Kanjeng Sunan Mangkurat telah mempunyai dua puteri, adalah: 1. Nyai Angger, dan 2. Nyai Wuragil. Sedangkan dari pernikahan dengan Kyai Gulu, menurunkan dua putera, 1. Nyai Mas Ayu*, 2. Bagus Sateter. Saat wafatnya Kyai Ageng Gulu, beliau Kanjeng Sunan Mangkurat mengangkat Bagus Sateter menjabat sebagai Bupati Gresik. Dan sebagai pengiring kedudukan Bupati Giri dibagian selatan oleh Pangeran Maswitana diangkatlah Kertilaksana, yang berasal dari keturunan china.
Setelah menjabat Bupati Gresik, Bagus Sateter nama gelarnya adalah Kyai Tumenggung Naladika dan diberi anugerah isteri oleh Kanjeng Sunan Mangkurat, yaitu dari garwa ampil, yang berasal dari desa Ketubanan wilayah Gresik, bernama Nyai Gede.
Dari pernikahan Bagus Sateter dengan Kyai Gede, mempunyai putra: 1. Lara Teleng; 2. Bgaus Dana; Sedangkan Bagus Sateter dengan istri semula (garwa sepuh) mempunyai seorang putra, bernama mBok Ayu Attap, yang menikah dengan Mertadiwangsa.
Dari pernikahan Bagus Sateter dengan Kyai Gede, mempunyai putra: 1. Lara Teleng; 2. Bgaus Dana; Sedangkan Bagus Sateter dengan istri semula (garwa sepuh) mempunyai seorang putra, bernama mBok Ayu Attap, yang menikah dengan Mertadiwangsa.
Kembali pada riwayat putra dari Kyai Ageng Gulu, yang bernama Nyai Mas Ayu dinikahkan dengan Kyai Kemis , bertempat tinggal di Setro dan menurunkan putra 1. Bagus Lanang Puspodiwangsa; 2. Nyai Ayu. Setelah dewasa Bagus Lanang dinikahkan dengan putranya Kyai Tumenggung Naladika yang bernama Lara Teleng. Sedangkan Nyai Ayu dinikahkan dengan Bagus Lasem, trah/keturunan Pargola dari Pati.
Riwayat lainnya dari Kyai Kemis, yang tinggal di desa Setro mendapat perintah Pangeran Maswitana di Giri, yaitu agar mencari "Jatra Malaka" ? ...ke wilayah timur. namun didalam melaksanakan tugas tersebut beliau wafat, dan tidak lama kemudian Kyai Ageng Gulu juga wafat, dan dimakamkan di Astana Gapura (Gresik). Dalam riwayat saat itu Kanjeng Sunan Mangkurat itu berkeinginan menagkap pemberontakan Trunodjoyo yang berada di wilayah Jawa Timur. Disaat kembalinya dari Gresik, Kanjeng Sunan Mangkurat memerintahkan menundukkan/menguasai Giri, karena Pangeran Maswitana, tidak tunduk / menyetujui naik tahtanya beliau. Akhirnya Giri dapat ditundukkan pada tahun 1680, dan menjadi bagian kekuasaan kerajaan Mataram.
Bagus Dana, setelah beranjak dewasa dinikahkan dengan Raden Ayu Bitak, putri dari Pangeran Tjakraningrat, Sampang-Madura, dan setelah wafatnya ayahnya Kyai Tumenggung Naladika kemudian menggantikan kedudukan / dinobatkan sebagai Bupati Gresik dengan nama gelar Raden Harya Naladika; gelag Harya diperoleh dari Madura. Dari pernikahan dengan Raden Ayu Bitak, menurunkan 5 putera, adalah : 1. Raden Ayu Purwo; 2. Raden Ayu Sumari; 3. Raden Taksaka; 4. Raden Ayu Manis, dan 5. Raden Ayu Tidjah. Beliau wafat di Pasuruan, dan dimakamkan disana.
Kedudukan Bupati Gresik selanjutnya dipegang oleh Kyai Puspodiwangsa pada tahun 1688, dengan nama gelar Kyai Tumenggung Pusponegoro, berdasarkan surat keputusan dari Kanjeng Gouverment Belanda. Kyai Tumenggung Pusponegoro mempunyai putra 15 putra, yaitu:
Dari garwo padmi: 1.Kyai Ngabei Djoyonegoro; 2. Kyai Ngabei Puspodirdjo; 3. Nyai Ajeng Wirodirdjo; 4. Kyai Ngabei Mertodirdjo; 5. Raden Mertodirdjo.
Dari garwo panumping bernama Nyai Podi, asal dari Bugis: 6. Kyai Ngabei Puspodirono; 7. Kyai Ngabei Pusporogo; 8. Nyai Ajeng Sutowidjoyo; 9. Nyai Ajeng Naladirdjo; 10. Kyai Ngabei Puspowidjoyo; 11. Kyai Ngabei Suradiprodjo;
Dari garwo panumping asal dari Giri-Gajah: 12. Kyai Ngabei Yudonegoro; 13. Kyai Ngabei Djoyodirdjo; 14. Kyai Ngabei Brotoredja.
Dari garwo panumping yang termuda: 15. Kyai Ngabei Surowikromo.
Bentuk bangunan makam cenderung kuno, dan terbuat dari batu putih, dan berjirat tinggi dan masif dengan bentuk nisan berbentuk dasar kurawal.
Sebagai bagian dari komplek makam Pusponegoro terdiri dari :
* Pintu masuk / Padu rekso timur.
* Pintu depan / Padu rekso II /Tabir Timur.
* Depan cungkup makam Pusponegoro / Padu Rekso.
* Depan makam Linggo depan.
* Tulisan pada makam.
* Makam Kyai Tumenggung Djojodiredjo
* Makam Kyai Tumenggung Soeronegoro
* Batu Tabir depan cungkup.
Makam Tumenggung Poesponegoro di kelilingi oleh banyak kuburan yang meskipun tidak setinggi dan seunik yang berada di Makam Raja-Raja Jawa, namun di sini banyak terdapat kubur batu dengan pahatan halus. Adanya gapura-gapura paduraksa serta prasasti batu bertulis di kompleks Makam Tumenggung Poesponegoro ini juga memberi nuansa tersendiri.
Makam Tumenggung Poesponegoro yang kompleksnya juga dihiasi dengan prasasti yang terbuat dari batu berukir indah yang ditulis dengan aksara Jawa.
Makam Tumenggung Poesponegoro
dihias dengan gapura paduraksa lagi, tepat di depan cungkup makamnya
dengan dua baris tulisan berhuruf arab di atas, dan dua baris tulisan
dengan aksara Jawa di bawahnya. Lalu sebaris tulisan berhuruf latin
berbunyi Makam Poespo Negoro.
Makam Tumenggung Poesponegoro
berada dalam sebuah bangunan berdinding tebal dengan lubang masuk
rendah yang membuat orang harus membungkuk untuk masuk ke dalamnya.
Makam Tumenggung Poesponegoro
yang terbuat dari batu andesit, dengan nisan berukir terbuat dari batu
putih. Sebagian inskripsi pada sisi depan makam tampak sudah terkelupas.
Makam Tumenggung Poesponegoro dikelilingi makam-makam tua, dan adanya pohon beringin di kompleks ini semakin menambah karisma nama harum para alamarhum, menunjukkan betapa karakter seseorang kasatriya membutuhkan pengabdian, pengorbanan dan keichlasan, bagi bangsanya dengan tidak meninggalkan perintah-perintah Agama dalam perjuangannya, amin amin amin yaa robbhalalamien
Selanjutnya Kyai Tumenggung Pusponegoro , digantikan oleh putra tertua yaitu Kyai Ngabei Djayanegara, pada tahun 1696 dengan nama gelar Kyai Tumenggung Djayoyonegoro. http://id.rodovid.org/wk/Orang:188867; Beliau memliki 11 putra dari :
- Pernikahan dengan Nyai Ayu Sutodrono (=garwo padmi), menurunkan: 1. Nyai Ajeng Adiretno; 2. Kyai Suronegoro; 3. Nyai Ajeng Puspodirdjo.
- Dari garwo panumping mBok Ayu Tjempo,asal Giri, menurunkan: 4. Nyai Ajeng Mertodirono; 5. Kyai Ngabei Astrodirdjo; 6. Nyai Ajeng Windunegoro 7. Nyai Ajeng Madunten.
- Dari garwo panumping yang lain, menurunkan: 8. Kyai Ngabei Djoyodirona; 9. Nyai Ajeng Sutanegoro; 10. Kyai Ngabei Djoyobroto; 11. Kyai Ngabei Djoyoredjo.
- KYAI TUMENGGUNG DJOYONEGORO ( DJIMAT )
Meneruskan riwayat Kyai Tumenggung Djoyonegoro (Djimat) Bupati di Gresik, adalah putra pertama Kyai Tumenggung Pusponegoro I (pertama), setelah lama dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan sebagai Adipati. Dalam kurun waktu itu Kanjeng Susuhunan Mangkurat di Mataram, mempunyai maksud mendirikan "tunggul" didepan sitihinggil, dan oleh karenanya mengundang seluruh Bupati di wilayah Kekuasaan Kerajaan Mataram untuk menghadap dalam pisowanan agung. Kyai Tumenggung Djoyonegoro, juga mengdahadiri undangan dalam acara tersebut.
"Tunggul" telah disiapkan, dan Patih Danuredjo mengumumkan kepada seluruh Bupati dan punggawa untuk segera mendirikan "tunggul", namun setelah mereka bergantian melakukannya tidak ada yang mampu mendirikan. Hal ini terdengar sampai kedalam keraton, sehingga menjadikan marahnya Sinuhun Kanjeng Mangkurat yang kemudian beliau keluar menuju sitihinggil ditempat para Bupati dan punggawa berkumpul, kemudian memberikan sabda, bahwa siapa saja yang dapat mendirikan "tunggul" akan mendapat hadiah (ganjaran) yang besar. Namun hampir semua yang hadir para Bupati dan punggawa menyatakan tidak sanggup, malahan pasrah saja hidup/mati mereka;
Pada saat itu hanya seseorang yang menyanggupi adalah Kyai Tumenggung Djoyonegoro, Bupati Gresik untuk mendirikan "tunggul" Keraton Mataram,.
Pada saat itu hanya seseorang yang menyanggupi adalah Kyai Tumenggung Djoyonegoro, Bupati Gresik untuk mendirikan "tunggul" Keraton Mataram,.
Kemudian Kyai Tumenggung Djoyonegoro beserta para punggawa Gresik dengan segala budi daya akhirnya dapat mendirikan "tunggul" dan ini sangat menggembirakan hati Kanjeng Sinuhun Mangkurat.
Disebelah kiri dan kanan pintu masuk, berjejer makam-makam kerabat dekat Tumenggung Poesponegoro. Diantaranya adalah Makam Kijai Adipati Djajanegara, foto di atas.
Berdirinya "tunggul" bertepatan pada tahun 1738 M, (sinengkalan angkaning warsa trusing sedya winayang ing rodjeng ); Setelah menyaksikan berdirinya "tunggul" ingkang Sinuhun baru masuk kedalam Keraton. Keesokharinya hadiah yang dijanjikan Kanjeng Sinuhun Mangkurat diberikan kepada Kyai Tumenggung Djoyonegoro berupa senjata serta keris pusaka bernama " Belabar "yang kemudian diperbolehkan untuk pulang ke Gresik, karena dikabarkan bahwa Pangeran Tjakraningrat dari Sampang saat itu telah menguasai Kota Gresik, dan mengambil alih kekuasaan; Sementara itu kekuasaan Gresik diberikan kepada kepala prajurit Sampang bernama Demang Djiworogo. Melihat keadaan ini maka Kanjeng Sinuhun Mangkurat memberikan bantuan kekuatan dengan memerintahkan Bupati Ponorogo beserta prajurit segera berangkat ke Gresik.
- DEMANG DJIWOROGO dari SAMPANG MENGUASAI KOTA GRESIK.
Sepeninggalan Kyai Tumenggung Djoyonegoro beserta saudara dan para punggawa ke Mataram, Kadipaten Gresik dijarah dan diduduki oleh Pangeran Tjakraningrat dari Sampang Madura, dipim;pin Demang Djiworogo yang terkenal kesaktiannya tanpa tanding. Dalam penyerangan ke Gresik mereka menggunakan perahu saat malam hari dan mendarat di pesisir Gresik. Kemudian mendarat dan menyerbu kota Gresik, serta mengepung rumah Kabupaten Gresik, dan sebagai orang Sampang tersebut menjarah toko-toko dikota, dan yang menyerang rumah Kapubaten menjarah seluruh harta benda serat mengambil wanita-wanita termasuk isteri Bupati Kasepuhan dan Bupati Kanoman, dan pula putra putri yang masih kecil dibawa ke Sampang.
Kemudian Demang Djiworogo, menobatkan diri menjadi Bupati Gresik. Para punggawa dan keluarga yang masih berada di Gresik selain mereka yang dibawa ke Sampang, diperintahkan untuk mencukur rambutnya (gundul), dan bilamana membakang mereka disiksa dengan cara orang Sampang yaitu dipecut dengan memaki "destar". Sehingga punggawa/keluarga ketakutan dan menuruti kehendak Demang Djiworogo.
Adapun keluarga Gresik yang terpaksa menyerah adalah : 1. Kyai Ngabei Mertoredjo; 2. Kyai Ngabei Surodirdjo; 3. Kyai Ngabei Djoyodirdjo; 4. Kyai Ngabei Surotruno; 5. Kyai Ngabei Puspodirdjo; 6. Gus Demang Mertodjoyo, dan mereka diperintahkan menggunakan busana seperti halnya orang Sampang-Madura, dan membaur dengan prajurit Sampang di kota Gresik.
Adapun keluarga Gresik yang terpaksa menyerah adalah : 1. Kyai Ngabei Mertoredjo; 2. Kyai Ngabei Surodirdjo; 3. Kyai Ngabei Djoyodirdjo; 4. Kyai Ngabei Surotruno; 5. Kyai Ngabei Puspodirdjo; 6. Gus Demang Mertodjoyo, dan mereka diperintahkan menggunakan busana seperti halnya orang Sampang-Madura, dan membaur dengan prajurit Sampang di kota Gresik.
PERSIAPAN ADIPATI GRESIK & PONOROGO MENGHALAU DEMANG DJIWOROGO DI DESA CERME
Perjalanan Kyai Tumenggung Djoyonegoro, Bupati Ponorogo dengan para prajurit selepas dari Mataram telah sampai di desa Sekaran ( nama desa ini sekarang Benjeng, kecamatan Cerme, wilayah Kabupaten Surabaya), dan selanjutnya mendirikan benteng pertahanan di desa Ngabetan (Kecamatan Cerme, wilayah Kabupaten Surabaya). Berita-berita mengenai keadaan Gresik semakin banyak didengar oleh Kyai Tumenggung Djoyonegoro dan adiknya Kyai tumenggung Pusponegoro II, mengenai keadaan keluarga (isteri dan anak anak) mereka dibawa ke Sampang. Hal ini menambah geram para prajurit Gresik, mereka tidak sabar lagi seakan-akan segera masuk dan membinasakan orang Sampang. Punggawa Gresik dalam rombongan ini adalah: 1. Kyai Ngabei Suronegoro; 2. Kyai Ngabei Astronegoro; 3. Kyai Ngabei Wirodirdjo; 4. Kyai Ngabei Ronggopuspoardjo Sepuh; 5. Kyai Ngabei Yudonegoro; 6. Kyai Ngabei Ronggopuspowidjoyo Anom; 7. Kyai Ngabei Puspotaruno.
Melihat situasi tersebut Demang Djiworogo memerintahkan kepada punggawa/keluarga Gresik yang telah tunduk padanya, agar menyertai perjalanan seorang bangsa Belanda yang menuju ke Kabupaten Jipang, namun diantara punggawa/keluarga Gresik ada yang tidak ikut bernama Kyai Ngabei Mertoredjo , karena sakit. Pada hari yang ditentukan mereka berangkat ke Jipang, dan ketika perjalanan sudah jauh dari kota Gresik mereka beristirahat. Disaat itu orang Belanda tersebut mengadakan pembicaraan dengan orang orang Gresik, ia memberitahukan maksud dan tujuan dari Demang Djiworogo menyertai perjalannya, yaitu bahwa mereka tidak lagi diperbolehkan kembali ke Gresik, karena Demang Djiworogo takut bila dikemudian hari saat Kyai Tumenggung Djoyonegoro melakukan penyerangan merebut kembali Gresik, mereka malah membantu. Orang Belanda tersebut menyarakan agar mereka segera bergabung dengan rombongan Kyai Tumenggung Djoyonegoro, dan mereka lalu berpisahan. Para punggawa/keluarga Gresik kemudian berjalan mengarah keselatan dimana sudah menegtahui bahwa Kyai Tumenggun Djoyonegoro telah kembali dari Mataram, dan sekarang beliau berada di desa Ngabetan.
Tidak lama kemudian mereka dapat bergabung dan saling bertemu dengan Kyai Tumenggung Djoyonegoro, ataupun Kyai Tumenggung Pusponegoro II, yang kemudian mereka saling berbagi cerita pengalaman masing masing.
Kyai Ngabei Surodirdjo, menyampaikan keadaan punggawa/keluarga Gresik yang tidak mau tunduk kepada Demang Djiworogo dari Sampang-Madura adalah: 1. Kyai Sutoredjo; 2. Kyai Mertodiwiryo; 3. Kyai Surodiwongso; 4. Kyai Mertodirono; 5. Kyai Mertoredjo. Kelima orang tersebut diatas, dapat melarikan diri ke Surabaya, sedangkan sanak familinya lainnya ditangkap dan dibawa ke Sampang, beserta kekayaan harta bendanya. Keadaan Gresik dimasa itu sangat resah, banyak pelaku kejahatan (merampok). Hal ini menimpa Kyai Mertoredjo dan putranya Kyai Ngabei Mertoredjo, dirampok di jalan Sumur Sanga. Dikarenakan keadaan Kyai Mertoredjo sudah lanjut usia, dan mengalami jatuh saat menghadapi orang orang Sampang, maka secepatnya rampok tadi dibunuh dengan sebilah keris oleh Kyai Ngabei Mertodjoyo, putera beliau.
PERANG DI NGABETAN
Selanjutnya Kyai Tumenggung Djoyonegoro beserta keluarga, punggawa/penderek dan Bupati Ponoorogo beristirahat di dalam benteng Ngabetan, dan setelah sebulan lamanya, persiapan prajurit untuk berperang sudah terlihat, dan dapat menghadang musuh dari Sampang yang membawa ribuan prajurit; Kyai Tumenggung Djoyonegoro beserta bala prajurit Gresik dan Ponoorogo melantangkan tantangan (sumbar) yang menakutkan, diiringi tabuhan bende secara beruntun serta majunya derap langkah menerjang ribuan orang Sampang dengan saling adu senjata / kekuatan, yang akhirnya mereka sama sama kelelahan, dan masing masing menepi. Pihak Kyai Tumenggung Djoyonegoro beristirahat di desa Sekaran, adapun pihak orang orang Sampang di Oro-oro Bogomiring, terletak disebelah barat desa Cerme.
Kelompok prajurit, punggawa dan keluarga pihak Kyai Tumenggung Djoyonegoro telah bulat tekadnya lahir dan batin berjuang sampai titik darah penghabisan. Dan mereka lalu mendirikan benteng didesa Sekaran. Dari pihak orang orang Sampang diriwayatkan mereka banyak menceriterakan keheranan mereka akan kesaktian senjata tulup/sumpit Kyai Tumenggung Djoyonegoro, senjata tersebut tanpa meleset sedikitpun selalu tepat pada sasaran, walaupun sasaran berlindung didalam air, pelor senjata tulup/sumpit tersebut menanti diatasnya dan saat orang tersebut muncul diterjanglah oleh pelor, dan arahnya pasti tepat pada mata. Sehingga pihak musuh (Sampang) luka lukanya pasti dimata mereka. Dan diriwayatkan orang Sampang menceriterakan keadaan itu dalam bahasa Madura : " Lamon ongghu, da'riya Bopatee Greseik lok kenneng laban, mon salah tepona oreng Sampang tumpes kabbhi " . Dan kesaktian yang diperlihatkan Kyai Tumenggung Djoyonegoro ini sampai didengar Pangeran Tjakraningrat di Sampang, dan menerima laporan bahwa prajurit Sampang banyak yang meninggal oleh senjat tulup/sumpit tersebut dengan luka semuanya di mata mereka. Melihat posisi yang tidak menguntungkan ini Pangeran Tjakraningrat mengutus seseorang Mantri untuk menyampaikan surat kepada Kyai Tumenggung Djoyonegoro, ataupun Kyai Tumenggung Pusponegoro II, dan disertai tindakan mengembalikan keluarga Bupati Kasepuhan, Kanoman (isteri, anak dan keluarga lainnya) yang ditawan di Sampang. Dan menyampaikan sebuah pertanda pemulihan hubungan berupa "bedes petak" (anak sapi berwarna putih) yang berasal dari Djipang.
UTUSAN PANGERAN TJAKRANINGRAT
Mantri utusan setelah menghadap Kyai Tumenggung Djoyonegoro dan Kyai Tumenggung Pusponegoro II menyampaikan surat ataupun kehendak Pangeran Tjakarningrat, yang maksudnya adalah : Mempersilahkan Kyai Tumenggung Djoyonegoro, Kyai Tumenggung Pusponegoro beserta keluarga / punggawa untuk kembali ke rumah masing masing di Gresik, adapun kejadian yang sudah terlanjur ahar diumpamakan tingkah laku anak yang belum mempunyai akal.
* Jawaban dari hal tersebut : Kyai Tumenggung Djoyonegoro akan menyetujui usulan Pangeran Tjakraningrat, akan tetapi Demang Djiworogo bukan seekor binatang kambing yang mudah untuk digusur, karena Demang Djiworogo telah mengenyam kemulyaan sebagai penguasa di Gresik dengan mendiami Rumah Bupati, dan tentunya akan melawan.
* Mendengar jawaban ini utusan tadi secara lantang mencucapkan: "Jadi paduka Kyai Tumenggung Djoyonegoro maunya mogok tidak mau menuruti kemauan Pangeran Tjakraningrat, dan buktinya paduka telah bermukim di Sekaran dan membangun benteng".
* Jawaban Kyai Tumenggung Djoyonegoro: "Bahwa saya tidak mogok terhadap keinginan Pangeran Tjakraningrat, karena saya tidak ada keberanian memaksa lengser Demang Djiworogo, adapun saya membuat benteng ini bermaksud untuk melindungi punggawa yang hanay berjumplah 20(dua puluh) orang, sedangkan pihak musuh Sampang membawa ribuan. Setelah mendengar jawabn itu utusan Mantri dari Sampang mohon diri.
* Sepeninggalan utuasn tadi Kyai Tumenggung Djoyonegoro, mengingatkan seluruh pengikutnya agar meningkatkan kewaspadaan, dengan perkiraan benteng Sekaran akan digempur musuh dalam jumlah prajurit yang lebih besar. Serentak para punggawa Kyai Tumenggung Djoyonegoro mengucapkan doa " Haula Wa'ala quwwata Illa billaah";"Tak ada daya dan tak ada upaya serta tak ada kekuatan apapun, kecuali dengan ALLAH", dan kemudian mereka masing masing mempersiapkan serta berbenah diri.
Tepatnya 20(dua puluh) hari semenjak kedatangan utusan dari Pangeran Tjakraningrat, beteng Sekaran diserbu pihak Sampang dengan jumlah ribuan sampai sampai digambarkan bahwa di oro-oro Bogomiring, nampak prajurit Sampang bagaikan samodra tak ada tepinya; Jumlahnya sepuluh kali lipat dibanding jumlah prajurit saat penyerangan di beteng Ngabetan. Perangpun berlangsung di sekitar luar beteng Sekaran, pihak Sampang tidak mampu mendekati beteng karena situasi dan posisi benteng sudah dirancang sedemikain rupa, sehingga gerak gerik pasukan Sampang pasti terlihat dari dalam beteng, karena disekitar beteng tidak ada tumbuhan yang menghalangi pandangan serta adanya sungai yang menjadi penghalang. Dengan demikian pasukan Sampang mengalami kekalahan dengan banyak korban perang berjatuhan, karena pelor senkata tulup/sumpit milik Kyai Tumenggung Djoyonegoro. Namun karena jumlah pasukan Sampang yang besar tidak tampak banyak yang mati. Dan suasana arena peperangan semakin gelap karena banyaknya burung gagak yang berterbangan yang seolah olah melindungi benteng Sekaran.
* Jawaban dari hal tersebut : Kyai Tumenggung Djoyonegoro akan menyetujui usulan Pangeran Tjakraningrat, akan tetapi Demang Djiworogo bukan seekor binatang kambing yang mudah untuk digusur, karena Demang Djiworogo telah mengenyam kemulyaan sebagai penguasa di Gresik dengan mendiami Rumah Bupati, dan tentunya akan melawan.
* Mendengar jawaban ini utusan tadi secara lantang mencucapkan: "Jadi paduka Kyai Tumenggung Djoyonegoro maunya mogok tidak mau menuruti kemauan Pangeran Tjakraningrat, dan buktinya paduka telah bermukim di Sekaran dan membangun benteng".
* Jawaban Kyai Tumenggung Djoyonegoro: "Bahwa saya tidak mogok terhadap keinginan Pangeran Tjakraningrat, karena saya tidak ada keberanian memaksa lengser Demang Djiworogo, adapun saya membuat benteng ini bermaksud untuk melindungi punggawa yang hanay berjumplah 20(dua puluh) orang, sedangkan pihak musuh Sampang membawa ribuan. Setelah mendengar jawabn itu utusan Mantri dari Sampang mohon diri.
* Sepeninggalan utuasn tadi Kyai Tumenggung Djoyonegoro, mengingatkan seluruh pengikutnya agar meningkatkan kewaspadaan, dengan perkiraan benteng Sekaran akan digempur musuh dalam jumlah prajurit yang lebih besar. Serentak para punggawa Kyai Tumenggung Djoyonegoro mengucapkan doa " Haula Wa'ala quwwata Illa billaah";"Tak ada daya dan tak ada upaya serta tak ada kekuatan apapun, kecuali dengan ALLAH", dan kemudian mereka masing masing mempersiapkan serta berbenah diri.
Tepatnya 20(dua puluh) hari semenjak kedatangan utusan dari Pangeran Tjakraningrat, beteng Sekaran diserbu pihak Sampang dengan jumlah ribuan sampai sampai digambarkan bahwa di oro-oro Bogomiring, nampak prajurit Sampang bagaikan samodra tak ada tepinya; Jumlahnya sepuluh kali lipat dibanding jumlah prajurit saat penyerangan di beteng Ngabetan. Perangpun berlangsung di sekitar luar beteng Sekaran, pihak Sampang tidak mampu mendekati beteng karena situasi dan posisi benteng sudah dirancang sedemikain rupa, sehingga gerak gerik pasukan Sampang pasti terlihat dari dalam beteng, karena disekitar beteng tidak ada tumbuhan yang menghalangi pandangan serta adanya sungai yang menjadi penghalang. Dengan demikian pasukan Sampang mengalami kekalahan dengan banyak korban perang berjatuhan, karena pelor senkata tulup/sumpit milik Kyai Tumenggung Djoyonegoro. Namun karena jumlah pasukan Sampang yang besar tidak tampak banyak yang mati. Dan suasana arena peperangan semakin gelap karena banyaknya burung gagak yang berterbangan yang seolah olah melindungi benteng Sekaran.
KEKUATAN PUSAKA KYAI TUMENGGUNG DJOYONEGORO
Hancurnya pasukan Sampang sudah didengar oleh Pangeran Tjakraningrat, sedangkan pasukan Sampang kenyataan tidak dapat membalas serangan dari Kyai Tumenggung Djoyonegoro, diceriterkan bagaikan amukan yang melibas musuh tanpa pandang bulu. Pangeran Tjakraningrat sangat murka melihat keadaan pasukannya hancur tak berdaya, dan dari Sampang diberangkatkan lagi bala bantuan dari punggawa yang gelar Haryo dan gelar Panji, serta memerintahkan pasukan Demang Djiworogo tidak boleh pulang, terkecuali karena celaka / sakit. Setelah pasukan bala bantuan datang bergabung, maka segera berangkatlah menuju ke benteng Sekaran dengan dipimpin sendiri oleh Demang Djiworogo, sehingga perangpun terjadi. Melihat keadaan pasukan Sampang sedemikian besarnya dibanding punggawa Kyai Tumenggung Djoyonegoro, dan telah mengepung benteng Sekaran hal ini mengakibatkan sedikit ketegangan dan serasa detak jantung seakan akan berhenti. Dan tidak lama kemudian kelihatan banyak pasukan Sampang yang meninggal, sertap punggawa Sampang bergelar Haryo dan Panji terluka, karena sepak terjang Kyai Nagbei Puspodirono dan Kyai Tumenggung Yudhonegoro ngamuk memporak perandakan pasukan Sampang dengan keris pusaka di tangan kedua beliau. Keadaan menyekam karena langit menjadi agak gelap dengan berterbangannya burung Gagak yang berjumlah ribuan diatas arena peperangan.
Perlu diketahui bahwa bala bantuan Bupati Ponorogo saat itu telah pulang, setelah perang benteng Sekaran yang pertama usai. Dalam riwayat, ketika Kyai Ngabei Puspodirono dan Kyai Ngabei Yudonegoro maju perang, banyak pasukan Sampang yang mati, Kyai Ngabei Puspodirono, terkena senjata lawan di bagian tubuhnya, dan hal ini sempat terlihat adiknya Kyai Ngabei Yudonegoro, kemudian ia menolongnya serta membawa kedalam di benteng Sekaran. Melihat keadaan adik terkena senjata lawan, Kyai Tumenggung Djoyodirono menjadi marah, dan langsung masuk dalam peperangan dengan menghunus "senjata pusaka Balebar" yang tidak begitu lama, pasukan Sampang terlibas oleh pusaka ini, dalam jumlah yang tidak dapat dihitung lagi.
Sedangkan keadaan Demang Djiworogo beserta pasukannya sudah terdesak dan tidak berdaya lagi dengan tampil dihadapannya Kyai Ngabei Mertoredjo dan Kyai Ngabei Pusporogo. Dalam peperangan ini Kyai Ngabei Pusporogo terluka badan sebelah kiri terkena tombaknya Demang Djiworogo, melihat hal ini Kyai Ngabei Mertoredjo dengan cepat pula menghujamkan tombaknya kearah Demang Djiworogo tetapi dapat dielakkan, sedangkan tombak melaju mengenai kuda Demang Djiworogo yang mengakibatkan jatuh/ terhempasnya Demang Djiworogo, yang kemudian merangkak dan melarikan diri. Melihat kejadian tersebut pasukan Sampang kendor semangat dan mundur, dan tak lama kemudian peperangan berhenti.
Kyai Tumenggung Djoyonegoro malam itu melakukan pembicaraan dengan seluruh pengikutnya yang berada dalam beteng Sekaran, untuk berpindah strategi dengan mengalihkan kekuatan pasukan ke desa Pakal (Surabaya). Dan segeralah berangkat mereka menuju desa Pakal dan membuat beteng lagi, dalam perjalanan tersebut membawa Kyai Ngabei Pusporogo yang terluka belum sembuh. Tidak lama di desa Pakal, kemudian berpindah lagi ke desa Semini. Sedangkan Kyai Ngabei Pusponegoro II tidak ikut serta pindah ke desa Semini, melainkan pindah ke desa Tandes (Surabaya).
DATANGNYA BALA BANTUAN UNTUK KYAI TUMENGGUNG DJOYONEGORO
Selama Kyai Tumenggung Djoyonegoro berkedudukan di desa Semini, sering diajak berbincang denagn Tuan Commandeur di Surabaya, yang kemudian menawarkan kesanggupannya untuk membantu Kyai Tumenggung Djoyonegoro melawan Pangeran Tjakraningrat dengan kekuatan tentara Kompeni Belanda, serta bantuan dari Pangeran Suroboyo - Kasepuhan dan Kanoman dengan seluruh punggawanya.
Keadaan Demang Djiworogo saat itu sangat mengkawatirkan, karena mengharap bala bantuan tidak kunjung datang, sedangkan ingin kembali ke Sampang takut ancaman dari Pangeran Tjakraningrat, ataupun maju perang keadaan prajuritnya tidak dapat dihandalkan. Apalagi mendengar bahwa Kyai Tumenggung Djoyonegoro yang berada di desa Semini mendapat dukungan dari pihak Kompeni Belanda, serta Tumenggung Suroboyo -Kasepuhan dan Kanoman.
Pangeran Tjakraningrat setelah mengetahui bantuan pasukan dari Sampang dalam perang kalah, semakin menjadi murka. Lalu memerintahkan mengumpulkan rakyat desa dan pesisir yang terkenal sebagai perampok/perompak dengan harapan mereka orang orang yang berani dan tanpa tanding. Terkumpulah hampir seribu orang, dan kemudian diberangkatkan memakai perahu menuju ke Gresik dan bergabung dengan orang Sampang terdahulu di alun alun Gresik.
Tuan Commandeur Kompeni Belanda dan Tumenggung Suroboyo - Kasepuhan ataupun Kanoman setelah berunding dan sepakat untuk membantu Kyai Tumenggung Djoyonrgoro. sebagai Bupati Gresik yang resmi. Diaturkah kemudian pasukan perang, dari pihak Tumenggung Suroboyo dipimpin oleh putranya bernama Mas Ngabei Prawiroseroyo dengan prajurit pilihan sebanyak dua ribu orang. Sedangkan pihak Kompeni Belanda menyiapkan sebanyak tiga pasukan (Compagnie) dikomandani oleh Kolonel Moestich, demikian pula Tumenggung Gresik dengan seluruh pungawanya telah siap maju berperang.
Suasana setelah ketiga kekuatan (Kompeni, Suroboyo dan Gresik) berkumpul dan dan meberikan aba aba dengan membunyikan dentuman meriam diiringi genderang yang ditabuh bertalu-talu, menjadikan suasan gembira bagi mereka yang berangkat perang. Urutan pasukan perang adalah Kompeni Belanda paling depan dan diiringi pasukan Tumenggung Suroboyo, menuju kearah barat ke desa Gantang, dan diteruskan perjalannnya ke desa Cerme sebelah selatan.
Mendengar kesiap siagaan Kyai Tumenggung Djoyonegoro yang dibantu Kompeni dan Tumenggung Suroboyo untuk berperang, maka Demang Djiworogo memimpin sendiri pasukannya dibantu Bimomuko, Lintang Kuning, dan segera memberangkatkan pasukan perangnya mengarah kebarat Gresik kemudian menuju ke selatan hingga singgah di desa Jambu, posisinya disebelah barat desa Tambakberas ( sekarang ada diwilayah Cerme ).
PERANG CERME
Sebagian Prajurit Suroboyo dipersiapkan di daerah desa Cerme Selatan, dan Prajurit Suroboyo langsung berhadapan dengan pihak musuh orang Sampang, yang tidak lama kemudian perang terjadi; Mereka salaing melakukan menembakkan senjata, sehingga tidak lama musuh telah banyak yang mati, dan banyak pula yang terluka dan mereka tidak mau mundur setapakpun. Pihak laskar Sampang bagaikan derasnya arus air berperang, ibarat terbunuh 100 orang, datang lagi 200 orang.
Kyai Tumenggung Gresik dan Surabaya dibuat sibuk oleh musuh, Prajurit Kompeni Belanda ikut serta mengepung musuh orang-orang Sampang, semakin lama dimedan perang keadaannya semakin gelap, dan nampak orang-orang Sampang berjuang mati matian.
Sebenarnya orang orang Sampang yang sangat ditakuti adalah hadirnya Kyai Tumenggung Djoyonegoro, karena senjata pusaka beliau, hal ini mereka orang orang Sampang telah merasakan sendiri betapa hebat pelor senjata pusaka itu. Peperangan antara orang Sampang dengan prajurit Suroboyo sangat seru, sama sama kuatnya. Dan diriwayatkan prajurit Kompenei Belanda yang ingin membantu dengan menembakkan senapannya tidak bisa membedakan mana orang Sampang, mana prajurit Suroboyo, karena saat itu keadaan medan perang mulai gelap namun Kompeni melakukan penembakkan sebisa bisanya dan hasilnya banyak orang Sampang yang mati, sedangkan pihak Sampang gantian menembakkan senjatanya yang berakibat juga banyak prajurit Suroboyo terluka dan tewas.
Melihat keadaan ini Kyai Tumenggung Djoyonegoro menjadi marah, oleh karena dalam perang tersebut punggawa kesayangannya bernama Pradjaganti dan punggawa pemelihara kuda kendaraanya (Lurah Gamel) bernama Pak Sarinah terluka, dan seketika itu juga Kyai Tumenggung Djoyonegoro beserta punggawa, dan saudara melakukan penyerang dengan senjata pusaka, dan akibatnya orang orang Sampang banyak yang terluka dan tewas; Saat yang bersamaan pihak Kompeni Belanda juga ikut memuntahkan peluru-peluru senjatanya, beserta dentuman meriam. Namun hal yang ditakuti orang Sampang adalah hanya senjata tulup/sumpit Kyai Tumenggung Djoyonegoro yang sakti tanpa meleset pasti mengenai mata musuh, dan tak lama kemudian peperangan berhenti, peperangan ini dinamakan"Perang Cerme".
Orang orang Sampang kembali ke perkemahannya di desa Jambu, sedangkan pasukan Suroboyo kembali keperistirahatan di desa Gantang, disini mereka telah membuat pesanggrahan (tempat istirahat) dan beteng pertahanan. Sedangankan pihak Kompeni Belanda, serta Kyai Tumenggung Djoyonegoro dengan punggawa, beserta saudara dan kerabatnya juga beristirahat di desa Gantang, yang juga ikut serta mengamankan wialayah desa Gantang.
Hari demi hari semenjak peperangan orang orang Sampang tidak menampakkan diri, mereka seolah olah enggah untuk menyerbu, mereka bermaksud melawan dalam situasi bertahan sehingga mereka dikatakan tidak berani lagi berperang.
Dari hasil kesepakatan dalam pembicaraan pimpinan prajurit Suroboyo, Gresik dan Kompeni Belanda segera melakukan lanjutan strategi perang dengan disepakati untuk segera menyerang orang orang Sampang yang bertahan di desa Cerme Selatan. Hal tersebut terdengar oleh orang orang Sampang, dan menjadikan gembira mereka.
Perangpun segera berkobar ... prajurit Suroboyo, Gresik dan Kompeni Belanda menerjang desa Jambu dan mereka saling berhadapan bertempur, bunyi dentingan senjata mereka, dan letusan senjata terdengar seru, dan terlihat orang orang Sampang semakin mundur dan banyak yang terluka dan tewas. Akhirnya orang orang Sampang melarikan diri masuk kota Gresik. Mendengar hal ini Demang Djiworogo marah dan berhasrat akan menyelesaikannya sendiri. Sedangkan kekalahan pihak punggawa Sampang di Gresik tersebut juga telah didengar beritanya oleh Pangeran Tjakraningrat di Sampang, yang kemudian memerintahkan agar Pangeran Sampang segera mengirim bala bantuan lagi. Setelah peperangan ini usai diriwayatkan pasukan Kompeni Belanda beristirahat di dukuh Sumber, desa Kembangan.
BALA BANTUAN TERAKHIR DARI SAMPANG
Demang Djiworogo yang mendapat bala bantuan dari Sampang segera mengaturnya di alun alun Gresik dan langsung menuju ke desa Manangkuli dan untuk beristirahat dulu; Dan dijelaskan bahwa pasukan bala bantuan dari Sampang ternyata adalah prajurit yang terakhir kali, karena Kadipaten Sampang semua prajurit sudah habis diberangkatkan ke Gresik, sehingga kota Sampang kelihatan sunyi senyap saat itu.
Pihak punggawa Suraoboyo, telah mendengar akan bala bantuan dari Sampang yang langsung dipimpin oleh Demang Djiworogo sendiri. Dan saat itu pihak Kompeni Belanda, Kyai Tumenggung Djoyonegoro dengan seluruh saudara, prajurit dan kerabat sudah siap menerima gempuran orang orang Sampang.
Tak lama kemudian di selatan desa Managkuli terdengar suara aba aba peperangan, terjadilah peperangan, yang kemudian nampak banyak orang yang tewas/terluka, dan peperanmgan itu sampai waktunya matahari terbenam mereka lalu saling menepi untuk berhenti berperang. Orang orang Sampang beristirahat di desa Mangkuli, sedangkan prajurit Suroboyo, Gresik dan Kompeni Belanda beristirahat ditempat antara desa Managkuli dan desa Kembangan.
PERLAWANAN GERILYA PIHAK SAMPANG
Dalam riwayat peperangan ini, pihak orang orang Sampang ditengah malam hari berangkat kembali menuju tempat peristirahatan musuh, dimana keadaan pasukan Suroboyo, Gresik dan Kompeni Belanda terlelap dalam istirahatnya. Mereka menyerang sehingga mengagetkan pihak pasukan Suroboyo yang tidak diperkirakan terjadi hal tersebut, dan piahk Suroboyo banyak yang tewas, terluka. Walaupun Kompeni Belanda juga masih sempat memuntahkan peluru peluru dari senjatanya, dan tidak lam kemudia terlihat orang orang Sampang mengudurkan diri.
Demikain halnya posisi pasukan Suroboyo, Gresik dan Kompeneni Belanda mundur kearah selatan barat, dan saat pagi hari telah berkumpul di desa Tambakberas . Mereka membicarakan untuk mendesak pertahanan orang-orang Sampang di desa Managkuli, dan adanya berita bahwa bala bantuan pasukan Suroboyo, serta Kompeni Belanda menyerang lewat darat dan lewat laut. Dan ada yang menggunakan perahu sekoci ( bahita sekonyor) yang dipimpin orang Spayol bernama tuan Bers (Luitenant/Letnan). Sedangkan pasukan Surabaya dan Gresik dalam situasi ini bersiaga di desa Kedanjang, karena telah larut malam.
Pagi harinya paskan Jawa dan Belanda berbgabung dan berbaris dan berangkat menuju desa Kembangan. Demikian halnya orang orang Sampang bergegas berangkat dari desa Managkuli , bersiaga perang di desa Kembangan. Perangpun tak lamakemudian terjadi, dan kemudian Belanda menghancurkan orang orang Sampang dengan senjata, serta meriam sehingga banyak yang terluka bahkan tewas. Saat itu orang orang Sampang yang menjadi satriya tandingan melesat maju menyerang pasukan Belanda yaitu Singomuko, Singobarong, Macan Kumbang, sehingga pasukan Belanda kerepotan tidak dapat menembak dalam jarak dekat. Dan kemudian pasukan Kompeni Belanda berperang memakai senjata pedang, namun hujaman/sabetan pedang pasukan Kompeni ini diditerima oleh orang orang Sampang tanpa ada yang terluka.
Pada saat peperangan terjadi Demang Djiworogo melihat sepak terjang seorang komandan pasukan Kompeni Belanda, dengan pedang ditangan menghabiskan banyak anak buahnya. Kemudian Demang Djiworogo menghamipiri komandan tadi yaitu Kolonel Gontang, dan langsung pedang yang terhunus tadi dihujamkan ke tubuh Demang Djiworogo, namun tidak mempan dan sebaliknya komanda Kompeni tewas tertusuk senjata Demang Djiworogo.
Melihat kondisi ini Kyai Tumenggung Djoyonegoro dengan punggawanya memberikan pertolongan, dan mengakibatkan barisan Sampang porak peranda dan disusul tewasnya Bimomuku, dan Macan Gringsing terkena senjata pusaka Kyai Tumenggung Djoyonegoro. Demang Djiworogo melihat hal ini langsung mengamuk seorang diri menerjang lawan, sehingga siapa saja musuhnya yang diterjang banyak yang tewas (pihak Suroboyo, Gresik dan Belanda).
Kyai Tumenggung Djoyonegoro tidak tinggal diam melihat menganuknya Demang Djiworogo, dengan mengambil jarak dan posisi yang strategis di tengah barisan Kompeni Belanda senjata pusaka tulup/sumpit dilepaskan ke arah Demang Djiworogo, tanpa meleset sedikitpun peluru tulup/sumpit berhasil mengenai matanya sehingga berhamburan darah, dan Demang Djiiwirogo terpental jatuh dari kudanya. Namun karena kesaktiannya ia tidak tewas, dan malah membabi buta mengamuk dengan keris pusaka ditangan yang menewaskan musuh didepannya. Kyai Ngabei Wirodirdjo menghadang dengan menghujamkan tombaknya kedada Demang Djiworogo, tepat pada sasaran namun menjadikan Demang Djiworogo menyerang balik dan merepotkan Kyai Ngabei Wirodjirdjo. Melihat hal tersebut Kyai Tumenggung Djoyonegoro segera menolong adiknya, dengan senjata pusaka keris "Belabar" melibas tubuh Demang Djiworogo sehingga bersimbah darah, dan tak berdaya lagi dan akhirnya tewas.
Dengan matinya Demang Djiworogo terdengar gemuruh sorak sorai dari pasukan Gresik, Suroboyo, dan pasukan Kompeni Belanda. Orang Sampang melihat keadaan yang tidak menguntungkan tersebut mereka berlarian mundur ke kota Gresik, namun pelarian mereka dikejar oleh prajurit Suroboyo, dan pasukan Kompeni Belanda. Para pelarian orang Sampang yang masuk ke kota Gresik melakukan pembakaran rumah rumah dan merampok harta benda dan dibawa lari menggunkana perahu kembali ke Sampang.
Setelah perang berhenti prajurit Suroboyo, Gresik, dan Pasukan Kompeni Belanda beristirahat di kota Gresik, dan tak lama kemudian pejabat Kompeni Belanda mengunjungi Gresik, adalah tuan Edelheer dari Semarang, van Harting serta sekretarisnya tuan Arta.
(bersambung) .....
Pagi harinya paskan Jawa dan Belanda berbgabung dan berbaris dan berangkat menuju desa Kembangan. Demikian halnya orang orang Sampang bergegas berangkat dari desa Managkuli , bersiaga perang di desa Kembangan. Perangpun tak lamakemudian terjadi, dan kemudian Belanda menghancurkan orang orang Sampang dengan senjata, serta meriam sehingga banyak yang terluka bahkan tewas. Saat itu orang orang Sampang yang menjadi satriya tandingan melesat maju menyerang pasukan Belanda yaitu Singomuko, Singobarong, Macan Kumbang, sehingga pasukan Belanda kerepotan tidak dapat menembak dalam jarak dekat. Dan kemudian pasukan Kompeni Belanda berperang memakai senjata pedang, namun hujaman/sabetan pedang pasukan Kompeni ini diditerima oleh orang orang Sampang tanpa ada yang terluka.
Pada saat peperangan terjadi Demang Djiworogo melihat sepak terjang seorang komandan pasukan Kompeni Belanda, dengan pedang ditangan menghabiskan banyak anak buahnya. Kemudian Demang Djiworogo menghamipiri komandan tadi yaitu Kolonel Gontang, dan langsung pedang yang terhunus tadi dihujamkan ke tubuh Demang Djiworogo, namun tidak mempan dan sebaliknya komanda Kompeni tewas tertusuk senjata Demang Djiworogo.
Melihat kondisi ini Kyai Tumenggung Djoyonegoro dengan punggawanya memberikan pertolongan, dan mengakibatkan barisan Sampang porak peranda dan disusul tewasnya Bimomuku, dan Macan Gringsing terkena senjata pusaka Kyai Tumenggung Djoyonegoro. Demang Djiworogo melihat hal ini langsung mengamuk seorang diri menerjang lawan, sehingga siapa saja musuhnya yang diterjang banyak yang tewas (pihak Suroboyo, Gresik dan Belanda).
Kyai Tumenggung Djoyonegoro tidak tinggal diam melihat menganuknya Demang Djiworogo, dengan mengambil jarak dan posisi yang strategis di tengah barisan Kompeni Belanda senjata pusaka tulup/sumpit dilepaskan ke arah Demang Djiworogo, tanpa meleset sedikitpun peluru tulup/sumpit berhasil mengenai matanya sehingga berhamburan darah, dan Demang Djiiwirogo terpental jatuh dari kudanya. Namun karena kesaktiannya ia tidak tewas, dan malah membabi buta mengamuk dengan keris pusaka ditangan yang menewaskan musuh didepannya. Kyai Ngabei Wirodirdjo menghadang dengan menghujamkan tombaknya kedada Demang Djiworogo, tepat pada sasaran namun menjadikan Demang Djiworogo menyerang balik dan merepotkan Kyai Ngabei Wirodjirdjo. Melihat hal tersebut Kyai Tumenggung Djoyonegoro segera menolong adiknya, dengan senjata pusaka keris "Belabar" melibas tubuh Demang Djiworogo sehingga bersimbah darah, dan tak berdaya lagi dan akhirnya tewas.
Dengan matinya Demang Djiworogo terdengar gemuruh sorak sorai dari pasukan Gresik, Suroboyo, dan pasukan Kompeni Belanda. Orang Sampang melihat keadaan yang tidak menguntungkan tersebut mereka berlarian mundur ke kota Gresik, namun pelarian mereka dikejar oleh prajurit Suroboyo, dan pasukan Kompeni Belanda. Para pelarian orang Sampang yang masuk ke kota Gresik melakukan pembakaran rumah rumah dan merampok harta benda dan dibawa lari menggunkana perahu kembali ke Sampang.
Setelah perang berhenti prajurit Suroboyo, Gresik, dan Pasukan Kompeni Belanda beristirahat di kota Gresik, dan tak lama kemudian pejabat Kompeni Belanda mengunjungi Gresik, adalah tuan Edelheer dari Semarang, van Harting serta sekretarisnya tuan Arta.
(bersambung) .....
Selain menurunkan Bupati Gresik sampai tahun 1926, Tumenggung
Poesponegoro juga menurunkan bupati-bupati Bangil, Demak, Jepara,
Lamongan, Malang, Mojokerto, Pasuruan, Pati, Semarang, Surabaya, dan
Trenggalek.
Tumenggung
Poesponegoro juga membangun pabrik meriam, yang selain digunakan
sendiri juga dijual ke daerah lain dan membawa keuntungan besar bagi
Gresik. Tumenggung Poesponegoro karenanya memiliki detasemen pasukan
meriam Sarageni, dengan meriam raksasa Kyayi Kalantaka (waktu kematian)
di pasang di alun-alun dan moncongnya mengarah ke pantai Gresik.
Riwayat ini diperuntukkan untuk putra wayah keluarga besar Trah Pusponegoro :
1. Kyai Ngabei Soedjono (alm, sumare ing Malang ) http://id.rodovid.org/wk/Orang:208439.
2. Ibu R Ayu Sri Hendrati, Surabaya
3. Ananda: Haji Raden Justanto, Ir, Msc., Jakarta. http://id.rodovid.org/wk/Orang:208439